.
Iklan
Geberin News »
Daerah
,
Featured
,
Headline News
,
Hukum Dan Kriminal
»
Pelaku Asusila Menjerat Anak Dibawah Umur..! Delapan Pelajar Setubuhi Siswa SMP
Pelaku Asusila Menjerat Anak Dibawah Umur..! Delapan Pelajar Setubuhi Siswa SMP
Posted by Geberin News on Saturday, May 14, 2016 |
Daerah,
Featured,
Headline News,
Hukum Dan Kriminal
Surabaya - Delapan remaja tersangka pencabulan terhadap ZR (13), siswi SMP di Kota Surabaya, adalah anak di bawah umur. Meski demikian, proses hukum tetap berjalan meski ada ketentuan khusus (diversi) manakala yang menjadi tersangka adalah anak di bawah umur.
Anak perempuan warga Kalibokor, Kota Surabaya itu mengaku sudah kehilangan kegadisannya sejak usia empat tahun oleh teman sepermainannya, berinisial AS yang kala itu berusia 10 tahun. Peristiwa itu terjadi setelah kedua orang tua ZR bercerai dan ibundanya ‘terperangkap’ Gang Dolly pascatertangkap basah suaminya seringkali berselingkuh dengan lelaki lain.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya AKP Ruth Yeni Qomariyah didampingi Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Lilly Djafar dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (12/5) sore menjelaskan, bahwa ZR pertama kali menjadi korban pelecehan seksual (dicabuli) ketika masih berusia empat tahun yang dilakukan oleh remaja tetangganya sendiri, berinisial AS yang saat itu berusia 10 tahun. Kendati mereka masing-masing tinggal bersama keluarganya di kawasan Kalibokor, Surabaya, namun ZR seringkali dicekoki dengan pil koplo double-L.
Lebih lanjut dikemukakan, dalam sistem peradilan anak yang baru, tersangka yang berusia 12 tahun ke bawah tidak akan diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri (PN) dengan alasan mereka belum bisa dimintai pertanggungjawaban perbuatannya secara pidana. Jalan yang diambil adalah menyerahkan mereka ke pengadilan dengan dua pilihan. Pertama pembinaan dikembalikan ke orang tua dan kedua dikembalikan kepada negara dalam hal ini dititipkan ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang memang khusus mengurusi mereka yang bermasalah namun berusia di bawah umur.
“Kami tetap meminta keterangan dari para tersangka yang berusia di bawah 12 tahun. Setelah itu kami serahkan ke PN. Pengadilanlah yang menentukan apakah tersangka akan diserahkan ke orang tuanya atau ke negara,” ujar AKP Yeni.
Untuk tersangka yang berusia di atas 12 tahun, menurut dia tetap dijerat dengan pelanggaran pidana. Pelanggaran hukum yang dijeratkan sebagai diatur dalam Pasal 81 dan 82 UU RI nomor 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Ia menggarisbawahi, bahwa sistem peradilan untuk anak di bawah umur berbeda dengan sistem pengadilan untuk orang dewasa. Hukuman yang nantinya diterima pun juga akan lebih ringan dibanding hukuman untuk orang dewasa. Dalam kasus ini ada tiga orang tersangka yang berusia di bawah 12 tahun yang masih berstatus siswa SD, sedangkan lima tersangka lain berusia di atas 13 tahun yang semuanya merupakan siswa SMP.
“Ini bisa jadi merupakan pendorong penyemangat besar nyali Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang sangat antusias dalam menyusun program membubarkan lokalisasi prostitusi Gang Dolly, beberapa tahun lalu,” tambah Kompol Lilly Djafar.
Dalam pemeriksaan sementara penyidik PPA Polrestabes Surabaya terungkap, bahwa kasus pencabulan yang dialami ZR, siswi kelas 1 SMP di Surabaya itu belangsung sudah sejak lama, sesudah korban mengalami gangguan kesehatan. Korban ZR dicabuli AS sejak berusia empat tahun setelah kecanduan pil koplo Double-L yang diberikan AS. Setelah korban duduk di kelas enam SD, baru tersangka pelaku AS melakukan persetubuhan layaknya pasangan suami istri.
Hubungan layaknya suami-isteri itu mereka lakukan di sudut Stasiun KA di Ngagel, Pos Kamling dan Balai RW Kalibokor maupun di celah-celah sudut bangunan tempat pemakaman umum (TPU) Ngagel, tidak jauh dari rumah mereka. Kalau kecanduan pil koplo, korban mencari uang dengan cara apapun. Karenanya korban terkesan rela disetubuhi kedelapan tersangka pelaku dengan imbalan pil koplo yang dibeli para tersangka yang masih berstatus pelajar itu.
“Pencabulanpun dilakukan secara bergantian di tempat-tempat yang sepi di Balai RW Kalibokor, gerbong KA di Stasiun Ngagel secara bergiliran,” tandas AKP Yeni.
Sementara itu Ketua Hotline Pendidikan Surabaya, Isa Anshori di tempat terpisah sebelumnya mengemukakan, bahwa kasus asusila yang dilakukan delapan pelajar usia 9-14 tahun selama bertahun-tahun di Surabaya, seharusnya tak luput dari program Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya. Dengan banyaknya program penyimpangan perilaku, program Dindik jangan hanya fokus pada bidang akademik saja. Program penyadaran harus diarahkan mempertajam kompetensi soal perilaku dan sosial.
“Program konselor Sebaya yang dijalankan Dindik Surabaya baru sebatas seremonial. Program ini menjadikan anak sebagai konselor atau relawan bagi sesama teman di sekolah. Konselor Sebaya baru sebatas program, belum terukur. Tren peningkatan perubahan perilaku pelajar Surabaya di era global komputerisasi, sangat tinggi. Dindik jangan terjebak pada program rutin. Riset menyebutkan, bahwa handphone, internet serta televisi menjadi sumber perubahan perilaku anak yang tidak selalu positif,” tandas Isa.
Terkait informasi, Dindik bisa kerja sama dengan Kominfo karena tugas Kominfo menyangjkut pemberian perlindungan anak terkait informasi, sedangkan Dindik membangun proses penyadarannya. Dindik harus aktif menggiring sekolah untuk membangun komunikasi dengan keluarga siswa, harapannya supaya keluarg
Anak perempuan warga Kalibokor, Kota Surabaya itu mengaku sudah kehilangan kegadisannya sejak usia empat tahun oleh teman sepermainannya, berinisial AS yang kala itu berusia 10 tahun. Peristiwa itu terjadi setelah kedua orang tua ZR bercerai dan ibundanya ‘terperangkap’ Gang Dolly pascatertangkap basah suaminya seringkali berselingkuh dengan lelaki lain.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya AKP Ruth Yeni Qomariyah didampingi Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Lilly Djafar dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (12/5) sore menjelaskan, bahwa ZR pertama kali menjadi korban pelecehan seksual (dicabuli) ketika masih berusia empat tahun yang dilakukan oleh remaja tetangganya sendiri, berinisial AS yang saat itu berusia 10 tahun. Kendati mereka masing-masing tinggal bersama keluarganya di kawasan Kalibokor, Surabaya, namun ZR seringkali dicekoki dengan pil koplo double-L.
Lebih lanjut dikemukakan, dalam sistem peradilan anak yang baru, tersangka yang berusia 12 tahun ke bawah tidak akan diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri (PN) dengan alasan mereka belum bisa dimintai pertanggungjawaban perbuatannya secara pidana. Jalan yang diambil adalah menyerahkan mereka ke pengadilan dengan dua pilihan. Pertama pembinaan dikembalikan ke orang tua dan kedua dikembalikan kepada negara dalam hal ini dititipkan ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang memang khusus mengurusi mereka yang bermasalah namun berusia di bawah umur.
“Kami tetap meminta keterangan dari para tersangka yang berusia di bawah 12 tahun. Setelah itu kami serahkan ke PN. Pengadilanlah yang menentukan apakah tersangka akan diserahkan ke orang tuanya atau ke negara,” ujar AKP Yeni.
Untuk tersangka yang berusia di atas 12 tahun, menurut dia tetap dijerat dengan pelanggaran pidana. Pelanggaran hukum yang dijeratkan sebagai diatur dalam Pasal 81 dan 82 UU RI nomor 35 tahun 2014 sebagai perubahan atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Ia menggarisbawahi, bahwa sistem peradilan untuk anak di bawah umur berbeda dengan sistem pengadilan untuk orang dewasa. Hukuman yang nantinya diterima pun juga akan lebih ringan dibanding hukuman untuk orang dewasa. Dalam kasus ini ada tiga orang tersangka yang berusia di bawah 12 tahun yang masih berstatus siswa SD, sedangkan lima tersangka lain berusia di atas 13 tahun yang semuanya merupakan siswa SMP.
“Ini bisa jadi merupakan pendorong penyemangat besar nyali Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang sangat antusias dalam menyusun program membubarkan lokalisasi prostitusi Gang Dolly, beberapa tahun lalu,” tambah Kompol Lilly Djafar.
Dalam pemeriksaan sementara penyidik PPA Polrestabes Surabaya terungkap, bahwa kasus pencabulan yang dialami ZR, siswi kelas 1 SMP di Surabaya itu belangsung sudah sejak lama, sesudah korban mengalami gangguan kesehatan. Korban ZR dicabuli AS sejak berusia empat tahun setelah kecanduan pil koplo Double-L yang diberikan AS. Setelah korban duduk di kelas enam SD, baru tersangka pelaku AS melakukan persetubuhan layaknya pasangan suami istri.
Hubungan layaknya suami-isteri itu mereka lakukan di sudut Stasiun KA di Ngagel, Pos Kamling dan Balai RW Kalibokor maupun di celah-celah sudut bangunan tempat pemakaman umum (TPU) Ngagel, tidak jauh dari rumah mereka. Kalau kecanduan pil koplo, korban mencari uang dengan cara apapun. Karenanya korban terkesan rela disetubuhi kedelapan tersangka pelaku dengan imbalan pil koplo yang dibeli para tersangka yang masih berstatus pelajar itu.
“Pencabulanpun dilakukan secara bergantian di tempat-tempat yang sepi di Balai RW Kalibokor, gerbong KA di Stasiun Ngagel secara bergiliran,” tandas AKP Yeni.
Sementara itu Ketua Hotline Pendidikan Surabaya, Isa Anshori di tempat terpisah sebelumnya mengemukakan, bahwa kasus asusila yang dilakukan delapan pelajar usia 9-14 tahun selama bertahun-tahun di Surabaya, seharusnya tak luput dari program Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya. Dengan banyaknya program penyimpangan perilaku, program Dindik jangan hanya fokus pada bidang akademik saja. Program penyadaran harus diarahkan mempertajam kompetensi soal perilaku dan sosial.
“Program konselor Sebaya yang dijalankan Dindik Surabaya baru sebatas seremonial. Program ini menjadikan anak sebagai konselor atau relawan bagi sesama teman di sekolah. Konselor Sebaya baru sebatas program, belum terukur. Tren peningkatan perubahan perilaku pelajar Surabaya di era global komputerisasi, sangat tinggi. Dindik jangan terjebak pada program rutin. Riset menyebutkan, bahwa handphone, internet serta televisi menjadi sumber perubahan perilaku anak yang tidak selalu positif,” tandas Isa.
Terkait informasi, Dindik bisa kerja sama dengan Kominfo karena tugas Kominfo menyangjkut pemberian perlindungan anak terkait informasi, sedangkan Dindik membangun proses penyadarannya. Dindik harus aktif menggiring sekolah untuk membangun komunikasi dengan keluarga siswa, harapannya supaya keluarg
Top 5 Populer Minggu Ini
-
Agama - Koleksi Gambar Keren & Unik Kartu Ucapan Selamat Lebaran atau Selamat Idul Fitri 1436 H / 2015 M. Desain Kartu Ucapan S...
-
Pernikahan sejatinya merupakan momen sakral karena melibatkan janji yang harus dipenuhi seumur hidup. Namun, ada pula orang yang memilih p...
-
Ja karta - Baru-baru ini beberapa daerah di sumatera utara mengalami pemadaman listrik yang bedrkepanjangan, pemadaman tersebut dikeluhk...
-
Filipina - Kepolisian Filipina, Minggu (1/5/2016), mengatakan, 10 pelaut Indonesia yang diculik kelompok militan Abu Sayyaf dan disande...
No comments: